hello again, blogger !
gue tadi ngebuat cerpen di tempat les. Awalnya sih mau dikirim ke redaksi Bobo, cuma gue masih ciut nyalinya buat ngirim ke redaksi Bobo -,-" dan dalam cerpen ini bahasanya berat dan ga terlalu cocok buat anak - anak. So, daripada nganggur di file comp gue ampe berdebu, meningan gue publikasikan aja ke blog ini, biar kalian jg bisa baca ;) . Ini cerita fiksi, judulnya Sepasang Sendal untuk Adikku.
Selamat membaca, mohon kritik dan sarannya ;)
Sepasang Sendal untuk Adikku
Siang itu sungguh panas sekali. Cahaya matahari yang sangat terik membuat tubuhku terbakar. Tapi semua itu tidak membuatku lelah untuk berkerja. Aku berkeliling di kota dari ujung ke ujung untuk mencari sebuah barang bekas. Bersama adikku, Irna, aku mencari barang-barang bekas untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berdua.
Setelah usai mencari barang-barang bekas, aku dan adikku pergi ke tukang loak yang ada di dekat pasar tradisional. Aku menjual barang-barang bekas yang aku kumpulkan. Ternyata, hasil penjualan barang-barangku tidak sebanyak yang aku pikirkan. Padahal, barang-barang yang aku kumpulkan lebih banyak dari yang kemarin.
“Mas, kok uangnya hanya dikasih segini sih? Padahal kan barang-barang yang saya berikan banyak sekali!”, protesku.
“Neng, sebagian barang-barang yang kamu kumpulkan sangat jelek! Tidak seperti kemarin. Masih untung saya kasih uang!”, gerutu si tukang loak.
Dengan lemas, aku berbalik dan membelakangi tukang loak itu. Tanpa sadar, air mataku kini mengalir dengan deras. Saat aku menangis, tiba-tiba Irna memelukku dengan erat. Dengan setengah tersenyum, aku berbalik dan memeluk Irna dengan erat. Walaupun Irna bisu, tapi aku bisa mendengarkan hatinya yang ingin menenangkanku.
Setelah lelah berjalan, aku dan adikku berhenti di sebuah warteg. Kami berdua menatap sebuah lauk pauk lezat yang dipajang di depan warteg dari luar jendela kaca. Saking lamanya aku menatap makanan itu, tanpa aku sadari bahwa dari tadi Irna menjilati kaca itu. Ya ampun, aku melihatnya dengan terkejut dan langsung menariknya agar dia tidak menjilati kaca itu. Aku tahu ia pasti sangat lapar. Dengan uang yang aku kumpulkan hari ini, uang dua ribu rupiah aku gunakan untuk membeli lauk dan nasi.
“Mbak, pesan nasinya 1 dan lauknya tahu dan tempe”, pintaku.
“Hmm…”. Ibu yang berjualan di warteg itu menatapku dengan tatapan sinis.
“Berapa banyak uang yang kau bawa, Nak?”, Tanya ibu itu.
“Emm, dua ribu rupiah…”, jawabku dengan gugup.
Dengan wajah yang muram, ibu penjaga warteg itu langsung mengusirku. Aku terus memohon kepada ibu itu sampai-sampai aku sujud di kakinya. Dengan marah, ibu penjaga warteg itu menendang wajahku. Aku menjerit kesakitan. Tendangan yang keras membuat wajahku berdarah semua. Irna yang melihat kejadian itu menangis dan dengan kuat dia menarikku untuk bangkit lalu lari meninggalkan warteg itu. Saat berlari, tiba-tiba Irna terjatuh dengan keras ke tanah. Dengan lemah, aku menarik adikku untuk bangkit. Tapi usaha itu sia-sia. Kaki adikku terluka parah karena tersayat batu tajam pada saat tersandung. Irna dan aku tidak memakai alas kaki, jadi kaki kami gampang terluka ketika berjalan. Dengan segenap kekuatanku, aku menggendong Irna yang terus meringis kesakitan ke rumah.
Setibanya di rumah kami yang ada di bawah jembatan tol, aku langsung membaringkan adikku lalu mengambil tissue dan selotip bening untuk memperban kaki adikku yang terluka. Setelah memperban kaki adikku, aku menangis dan langsung memeluknya yang sedang terbaring di atas kardus tipis. Setelah itu, aku juga memperban luka di wajahku. Tiba-tiba tangan Irna bergerak dan mengambil sebuah kertas dan pensil yang ada disampingnya. Lalu ia menulis sesuatu. Setelah menulis ia melipatnya dan memberikannya kepadaku. Aku membaca kertas itu. Di kertas itu tertulis : Kak, belikan aku sebuah sandal, aku sangat menginginkan sandal sejak dulu. Aku mohon, belikan aku sandal kak. Kalau tidak, kakiku akan terluka seperti ini lagi. Dengan setengah tersenyum, aku berlari ke kamarku lalu memecahkan celengan ayam jagoku. Setelah kuhitung jumlah total uang tabunganku, ternyata ada dua puluh ribu rupiah lebih.
Aku bergegas keluar rumah mencari sebuah sandal. Ternyata, si tukang loak menjual sebuah sandal bagus dengan harga yang sangat murah. Setelah terjadi tawar menawar dengannya, aku mendapatkan sebuah sandal berwarna merah dengan harga lima ribu rupiah saja. Setelah itu, aku membeli makanan di warteg yang tadi dengan uang sisanya. Setelah proses meminta maaf atas kejadian tadi sore, ibu itu lalu memberikan sebungkus nasi dan lauk pauk. Aku tersenyum dengan senang. Sisa uang yang kupakai aku tabung kembali. Dengan senang aku kembali pulang ke rumah. Tiba-tiba bau busuk menyengat hidungku. Setelah aku mencari asal bau itu, ternyata dari dalam rumahku! Dengan cepat aku berlari ke rumah. Aku terkejut melihat sosok Irna yang sudah terbaring lemas dan tidak bergerak lagi. Aku menangis histeris dan menjerit sedih. Irna kehabisan darah karena luka di kakinya sangat dalam dan lebar, perban yang kubalut dikakinya tidak bisa menahan darah yang terus menerus keluar.
Aku memeluknya dengan erat sambil terus menangis.
Esoknya, aku menguburkan adikku dibelakang rumah gubukku. Dengan sedih aku memasukkannya ke dalam tanah yang basah karena hujan. Aku dibantu oleh warga sekitar. Setelah para warga menutup liang kuburnya, aku meletakkan sandal dan makanan yang kubeli kemarin diatas kuburannya. Selamat jalan Irnaku tersayang.
Date : 04-12-10